Sudah Saatnya Pemerintah Indonesia Buka Ruang Komunikasi dengan Faksi Perjuangan Palestina


Perjuangan rakyat Palestina untuk meraih kemerdekaan telah berlangsung lebih dari tujuh dekade. Sejak 1948, penderitaan bangsa itu tidak pernah benar-benar berhenti dari penjajahan era moderen, blokade, dan kekerasan terus menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari rakyat Palestina. Namun, peristiwa 7 Oktober menjadi titik balik yang mengguncang politik kawasan dan membuka babak baru dalam perjuangan Palestina. Di tengah eskalasi yang kian memanas, sudah saatnya Indonesia, sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia dan salah pemain politik global, mengambil langkah lebih berani: membuka ruang komunikasi resmi dengan berbagai faksi perjuangan Palestina, termasuk Hamas dan Jihad Islam, dan faksi lainnya demi memperkokoh jalan menuju kedaulatan Palestina yang hakiki.

Perjuangan Pasca 7 Oktober

Peristiwa 7 Oktober 2023 menandai pecahnya kembali konfrontasi terbuka antara kelompok perlawanan Palestina, terutama Hamas, dengan Israel. Reaksi militer Israel yang brutal telah menyebabkan ribuan korban jiwa, sebagian besar dari kalangan sipil. Situasi kemanusiaan di Gaza semakin memburuk, dan upaya diplomasi global masih menemui jalan buntu karena dunia internasional terpecah dalam menilai akar masalah sebenarnya: penjajahan yang belum berakhir.

Dalam konteks ini, berbagai faksi perjuangan Palestina seperti Hamas, Jihad Islam, dan kelompok lainnya muncul bukan semata sebagai kekuatan militer, melainkan sebagai ekspresi politik dari penolakan terhadap pendudukan dan ketidakadilan yang berlangsung puluhan tahun. Banyak dari mereka memiliki basis sosial dan politik yang luas di wilayah Palestina, terutama di Jalur Gaza. Karenanya, mengabaikan mereka dalam percakapan diplomatik sama hal akan memperpanjang  dan memperlemah posisi perjuangan Palestina di mata dunia.

Diplomasi Inklusif Indonesia: Dari Bandung ke Palestina

Sejak Konferensi Asia-Afrika tahun 1955 di Bandung, Indonesia telah menegaskan diri sebagai pelopor solidaritas antikolonial. Prinsip yang dipegang teguh Bung Karno—bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa—menjadi pondasi politik luar negeri Indonesia hingga kini. Dukungan kepada Palestina bukanlah sikap emosional keagamaan semata, melainkan konsekuensi ideologis dari komitmen bangsa Indonesia terhadap keadilan dan kedaulatan.

Selama ini, diplomasi Indonesia lebih banyak berinteraksi dengan Pemerintahan Otoritas Palestina (PA) di bawah kempimpinan Mahmud Abbas di Ramallah, yang diakui secara resmi oleh PBB. Namun, realitas politik di lapangan menunjukkan bahwa Hamas dan Jihad Islam, serta faksi lainnya memiliki peran yang signifikan dalam mempertahankan eksistensi rakyat Palestina di Gaza. Tanpa komunikasi dengan mereka, diplomasi apa pun akan timpang dan kehilangan substansi. Oleh sebab itu, _membuka jalur komunikasi dengan faksi perjuangan seperti Hamas dan Jihad Islam dan faksi lainnya bukan berarti mendukung kekerasan_, melainkan langkah strategis untuk memahami realitas politik Palestina secara utuh.

Membuka Jalan untuk Rekonsiliasi dan Kedaulatan

Salah satu kendala terbesar dalam perjuangan Palestina adalah perpecahan internal antara Fatah di Tepi Barat dan Hamas di Gaza. Perpecahan ini melemahkan posisi Palestina di forum internasional dan memperlambat terbentuknya pemerintahan nasional yang solid. Dalam hal ini, Indonesia memiliki potensi besar untuk berperan sebagai jembatan rekonsiliasi.

Indonesia telah membuktikan kapasitasnya sebagai mediator yang kredibel melalui perannya dalam penyelesaian konflik Aceh (MoU Helsinki 2005), serta keterlibatan aktifnya dalam misi perdamaian PBB di berbagai negara. Pendekatan soft diplomacy Indonesia—berbasis dialog, empati, dan keadilan—bisa menjadi model untuk mempertemukan berbagai faksi Palestina dalam semangat persatuan nasional.

Dengan membuka komunikasi dengan Hamas, Jihad Islam, maupun faksi lain, tentu indonesia tidak bermaksud mengintervensi urusan internal Palestina, tetapi membantu memperkuat fondasi politik bagi terbentuknya negara Palestina yang berdaulat, demokratis, dan damai.

Menjaga Prinsip Hukum dan Kemanusiaan

Membuka komunikasi bukan berarti mendukung seluruh tindakan atau strategi militer kelompok tertentu. Indonesia harus tetap menegaskan komitmennya terhadap hukum internasional, termasuk perlindungan warga sipil dan penegakan hukum humaniter. Namun, prinsip keadilan menuntut agar semua pihak, termasuk kelompok perlawanan Palestina, diberi ruang untuk menjelaskan posisi dan aspirasi mereka di hadapan komunitas internasional.

Diplomasi yang hanya berpihak pada satu entitas politik tidak akan pernah membawa perdamaian. Dunia perlu mendengar suara rakyat Palestina dari berbagai lapisan, termasuk mereka yang hidup di bawah blokade dan serangan militer setiap hari. Dalam hal inilah, Indonesia diharapkan dapat berperan sebagi corong Diplomasi , menjembatani komunikasi antara faksi-faksi perjuangan Palestina dengan dunia internasional tanpa prasangka ideologis.

Momentum Baru bagi Diplomasi Global Indonesia

Langkah membuka ruang komunikasi dengan Hamas dan Jihad Islam juga dapat memperkuat posisi Indonesia di dunia Islam dan di panggung internasional. Sebagai negara demokratis terbesar di Asia, Indonesia memiliki legitimasi moral yang kuat untuk berbicara tentang keadilan global tanpa membawa agenda blok tertentu.

Dalam forum Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), Indonesia dapat mendorong pendekatan baru: diplomasi persatuan Palestina yang mencakup seluruh elemen perjuangan, bukan hanya kelompok yang diakui secara formal. Dengan cara ini, Indonesia bukan saja memperkuat perjuangan Palestina, tetapi juga mengembalikan peran dunia Islam sebagai kekuatan moral dalam memperjuangkan hak asasi manusia dan keadilan.

Langkah ini juga sejalan dengan semangat politik luar negeri bebas aktif. Indonesia tidak harus menunggu restu kekuatan besar dunia untuk berbicara dengan pihak mana pun yang berjuang bagi kemerdekaan bangsanya. Sejarah telah membuktikan bahwa Indonesia mampu berdiri di atas prinsip sendiri ketika memperjuangkan isu-isu global yang menyangkut kemanusiaan dan kolonialisme.

Penutup: Diplomasi Nurani untuk Palestina

Sudah saatnya Indonesia mengambil langkah nyata yang lebih progresif. Membuka ruang komunikasi dengan faksi perjuangan Palestina seperti Hamas dan Jihad Islam bukanlah keberpihakan politik, melainkan keberpihakan moral pada kemerdekaan dan keadilan.

Langkah ini akan memperkuat posisi Indonesia sebagai suara nurani dunia Islam dan jembatan bagi terciptanya rekonsiliasi nasional Palestina. Dunia membutuhkan diplomasi yang berani, berempati, dan berkeadilan—dan Indonesia memiliki semua modal itu: sejarah antikolonial, kredibilitas moral, serta kepemimpinan yang berorientasi pada perdamaian.

Dengan keberanian untuk membuka dialog yang inklusif, Indonesia bukan hanya membantu memperkokoh kedaulatan Palestina, tetapi juga menegaskan kembali jati dirinya sebagai bangsa yang tidak akan pernah berkompromi terhadap ketidakadilan dan penjajahan, di mana pun itu terjadi.*Sudah Saatnya Pemerintah Indonesia Buka Ruang Komunikasi dengan Faksi Perjuangan Palestina*

Oleh: Heriyanto/Ketua Yayasan Institut Agama Islam Pemalang

Perjuangan rakyat Palestina untuk meraih kemerdekaan telah berlangsung lebih dari tujuh dekade. Sejak 1948, penderitaan bangsa itu tidak pernah benar-benar berhenti dari penjajahan era moderen, blokade, dan kekerasan terus menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari rakyat Palestina. Namun, peristiwa 7 Oktober menjadi titik balik yang mengguncang politik kawasan dan membuka babak baru dalam perjuangan Palestina. Di tengah eskalasi yang kian memanas, sudah saatnya Indonesia, sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia dan salah pemain politik global, mengambil langkah lebih berani: membuka ruang komunikasi resmi dengan berbagai faksi perjuangan Palestina, termasuk Hamas dan Jihad Islam, dan faksi lainnya demi memperkokoh jalan menuju kedaulatan Palestina yang hakiki.

Perjuangan Pasca 7 Oktober

Peristiwa 7 Oktober 2023 menandai pecahnya kembali konfrontasi terbuka antara kelompok perlawanan Palestina, terutama Hamas, dengan Israel. Reaksi militer Israel yang brutal telah menyebabkan ribuan korban jiwa, sebagian besar dari kalangan sipil. Situasi kemanusiaan di Gaza semakin memburuk, dan upaya diplomasi global masih menemui jalan buntu karena dunia internasional terpecah dalam menilai akar masalah sebenarnya: penjajahan yang belum berakhir.

Dalam konteks ini, berbagai faksi perjuangan Palestina seperti Hamas, Jihad Islam, dan kelompok lainnya muncul bukan semata sebagai kekuatan militer, melainkan sebagai ekspresi politik dari penolakan terhadap pendudukan dan ketidakadilan yang berlangsung puluhan tahun. Banyak dari mereka memiliki basis sosial dan politik yang luas di wilayah Palestina, terutama di Jalur Gaza. Karenanya, mengabaikan mereka dalam percakapan diplomatik sama hal akan memperpanjang  dan memperlemah posisi perjuangan Palestina di mata dunia.

Diplomasi Inklusif Indonesia: Dari Bandung ke Palestina

Sejak Konferensi Asia-Afrika tahun 1955 di Bandung, Indonesia telah menegaskan diri sebagai pelopor solidaritas antikolonial. Prinsip yang dipegang teguh Bung Karno—bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa—menjadi pondasi politik luar negeri Indonesia hingga kini. Dukungan kepada Palestina bukanlah sikap emosional keagamaan semata, melainkan konsekuensi ideologis dari komitmen bangsa Indonesia terhadap keadilan dan kedaulatan.

Selama ini, diplomasi Indonesia lebih banyak berinteraksi dengan Pemerintahan Otoritas Palestina (PA) di bawah kempimpinan Mahmud Abbas di Ramallah, yang diakui secara resmi oleh PBB. Namun, realitas politik di lapangan menunjukkan bahwa Hamas dan Jihad Islam, serta faksi lainnya memiliki peran yang signifikan dalam mempertahankan eksistensi rakyat Palestina di Gaza. Tanpa komunikasi dengan mereka, diplomasi apa pun akan timpang dan kehilangan substansi. Oleh sebab itu, _membuka jalur komunikasi dengan faksi perjuangan seperti Hamas dan Jihad Islam dan faksi lainnya bukan berarti mendukung kekerasan_, melainkan langkah strategis untuk memahami realitas politik Palestina secara utuh.

Membuka Jalan untuk Rekonsiliasi dan Kedaulatan

Salah satu kendala terbesar dalam perjuangan Palestina adalah perpecahan internal antara Fatah di Tepi Barat dan Hamas di Gaza. Perpecahan ini melemahkan posisi Palestina di forum internasional dan memperlambat terbentuknya pemerintahan nasional yang solid. Dalam hal ini, Indonesia memiliki potensi besar untuk berperan sebagai jembatan rekonsiliasi.

Indonesia telah membuktikan kapasitasnya sebagai mediator yang kredibel melalui perannya dalam penyelesaian konflik Aceh (MoU Helsinki 2005), serta keterlibatan aktifnya dalam misi perdamaian PBB di berbagai negara. Pendekatan soft diplomacy Indonesia—berbasis dialog, empati, dan keadilan—bisa menjadi model untuk mempertemukan berbagai faksi Palestina dalam semangat persatuan nasional.

Dengan membuka komunikasi dengan Hamas, Jihad Islam, maupun faksi lain, tentu indonesia tidak bermaksud mengintervensi urusan internal Palestina, tetapi membantu memperkuat fondasi politik bagi terbentuknya negara Palestina yang berdaulat, demokratis, dan damai.

Menjaga Prinsip Hukum dan Kemanusiaan

Membuka komunikasi bukan berarti mendukung seluruh tindakan atau strategi militer kelompok tertentu. Indonesia harus tetap menegaskan komitmennya terhadap hukum internasional, termasuk perlindungan warga sipil dan penegakan hukum humaniter. Namun, prinsip keadilan menuntut agar semua pihak, termasuk kelompok perlawanan Palestina, diberi ruang untuk menjelaskan posisi dan aspirasi mereka di hadapan komunitas internasional.

Diplomasi yang hanya berpihak pada satu entitas politik tidak akan pernah membawa perdamaian. Dunia perlu mendengar suara rakyat Palestina dari berbagai lapisan, termasuk mereka yang hidup di bawah blokade dan serangan militer setiap hari. Dalam hal inilah, Indonesia diharapkan dapat berperan sebagi corong Diplomasi , menjembatani komunikasi antara faksi-faksi perjuangan Palestina dengan dunia internasional tanpa prasangka ideologis.

Momentum Baru bagi Diplomasi Global Indonesia

Langkah membuka ruang komunikasi dengan Hamas dan Jihad Islam juga dapat memperkuat posisi Indonesia di dunia Islam dan di panggung internasional. Sebagai negara demokratis terbesar di Asia, Indonesia memiliki legitimasi moral yang kuat untuk berbicara tentang keadilan global tanpa membawa agenda blok tertentu.

Dalam forum Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), Indonesia dapat mendorong pendekatan baru: diplomasi persatuan Palestina yang mencakup seluruh elemen perjuangan, bukan hanya kelompok yang diakui secara formal. Dengan cara ini, Indonesia bukan saja memperkuat perjuangan Palestina, tetapi juga mengembalikan peran dunia Islam sebagai kekuatan moral dalam memperjuangkan hak asasi manusia dan keadilan.

Langkah ini juga sejalan dengan semangat politik luar negeri bebas aktif. Indonesia tidak harus menunggu restu kekuatan besar dunia untuk berbicara dengan pihak mana pun yang berjuang bagi kemerdekaan bangsanya. Sejarah telah membuktikan bahwa Indonesia mampu berdiri di atas prinsip sendiri ketika memperjuangkan isu-isu global yang menyangkut kemanusiaan dan kolonialisme.

Penutup: Diplomasi Nurani untuk Palestina

Sudah saatnya Indonesia mengambil langkah nyata yang lebih progresif. Membuka ruang komunikasi dengan faksi perjuangan Palestina seperti Hamas dan Jihad Islam bukanlah keberpihakan politik, melainkan keberpihakan moral pada kemerdekaan dan keadilan.

Langkah ini akan memperkuat posisi Indonesia sebagai suara nurani dunia Islam dan jembatan bagi terciptanya rekonsiliasi nasional Palestina. Dunia membutuhkan diplomasi yang berani, berempati, dan berkeadilan—dan Indonesia memiliki semua modal itu: sejarah antikolonial, kredibilitas moral, serta kepemimpinan yang berorientasi pada perdamaian.

Dengan keberanian untuk membuka dialog yang inklusif, Indonesia bukan hanya membantu memperkokoh kedaulatan Palestina, tetapi juga menegaskan kembali jati dirinya sebagai bangsa yang tidak akan pernah berkompromi terhadap ketidakadilan dan penjajahan, di mana pun itu terjadi.

Oleh: Heriyanto/Ketua Yayasan Institut Agama Islam Pemalang

Subscribe to receive free email updates: