Catatan Akhir 2018: Hitam Putih Pemanfaatan Media Komunikasi Digital
Jakarta - beritatimur.id- Tak dapat dipungkiri, kemajuan teknologi digital yang disambut berbagai kalangan dengan aneka pemaanfaatan di Tanah Air, memberikan sumbangan pada kemajuan ekonomi, sosial, praktik komunikasi, maupun perubahan budaya secara signifikan. Namun demikian, tak seluruhnya tampil menggembirakan.
Ada catatan yang cukup mengganggu terkait pemanfaatan media komunikasi digital, terutama jika dikaitkan dengan event politik yang pemanasannya dimulai menjelang Pilgub DKI 2017 hingga Pileg dan Pilpres 2019. Ditengarai, teknologi digital turut menyokong menguatnya sentimen intoleransi antar penganut agama dan menajamnya polarisasi identitas yang berlandaskan nilai keagamaan.
Tentu gejala ini tak berdiri sendiri dan dapat serta merta menuding teknologi informasi sebagai penyebab keadaan yang tak diinginkan ini. Manuel Castells, dalam bukunya "The Network Outreach and Hope", menunjukkan makin merebaknya kejahatan dan tindakan kriminal global yang di-empowering oleh teknologi informasi menjadikan keburukan susah dideteksi, dicegah dan ditumpas. Namun di sisi lain teknologi digital juga memperkuat The Network of Hope. Nilai- nilai baik dapat tersebar dengan cepat dan menjangkau khalayak secara luas. Artinya teknologi informasi sangat tergantung pada kemauan baik penggunanya: manusia.
Event politik raya di 2019 merupakan ajang mempertaruhkan sekaligus memperebutkan porsi ekonomi yang tidak kecil. Maka jika dapat ditempuh dengan pengorbanan sekecil-kecilnya, dapat dianggap pilihan cerdas. Dan itu dijawab dengan baik dengan memanfaatkan teknologi informasi. Pesan diproduksi dengan segenap kreativitas, disebarkan secara masif melalui media digital dan hasil yang cepat dan sesuai harapan, dapat segera diukur. Terlebih, struktur budaya Indonesia yang mengalami lompatan dari budaya tutur--harusnya ke budaya baca dulu--namun langsung ke budaya menonton, menyebabkan struktur kognisi yang terbentuk pada masyarakat Indonesia tak terlatih untuk mengkaji informasi secara mendalam dan serius. Implikasinya, informasi tak mendalam yang disebarkan secara bertubi-tubi, bahkan dalam format hiburan, akan menempati ruang rasa percaya masyarakat, terlepas dari salah benarnya.
Dengan adanya kontestasi 2 kandidat besar dalam pemilihan raya 2019, warna informasi pun menjadi 2 warna besar. Masing-masing memiliki penganutnya yang fanatik. Inilah yang mengancam keutuhan bangsa, yang bagi sebagian kalangan, menuduh teknologi informasi sebagai penyebabnya.
Kuatnya pengaruh teknologi informasi dalam aplikasi komunikasi bermedium digital mendorong perlunya kesadaran bersama terhadap ancaman segregasi sosial oleh pemanfaatannya yang tidak tepat. Event politik di USA maupun Brazil memberikan petunjuk bahkan di negara yang sangat maju, apalagi yang belum maju, masyarakat tidak mudah lagi menentukan kebenaran maupun pilihan yang baik ketika sekelompok orang atas nama keuntungan ekonomi dan demi memenuhi hasrat kuasa melakukan disinformasi, dengan sengaja menyebarluaskan informasi salah, memproduksi dan mereproduksi hoax, dengan memanfaatkan medium digital. Masyarakat terjebak dalam filter bubble yang tersusun oleh jejak digitalnya sendiri, menjelma menjadi masyarakat fanatik dan intoleran terhadap berbeda.
Akankah keadaan serupa harus mewarnai Indonesia di tengah pemilihan raya 2019? Harusnya setiap pihak menahan diri terhadap upaya melakukan apapun, demi teraihnya kekuasaan. Permainan politik dengan memanfaatkan teknologi informasi untuk menyebarluaskan informasi salah adalah permainan yang menjadikan peradaban sebagai taruhannya. Haruskah dinikmati untuk kepentingan sesaat
fs